Selamat Datang di Pustaka Madani, laman bagi pencari pustaka

Jumat, 25 Mei 2012

M

Media
Hamalik (1980, 23) menyatakan bahwa media adalah alat, metode dan teknik yang dapat digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.
(Hamalik, Oemar. 1980. Media Pendidikan. Bandung, Alumni.)

Proyek BP3G Jawa Timur (Metodologi Pengajaran 1982/1983) menyatakan bahwa alat peraga adalah media yang dapat membantu guru dalam usahanya menjelaskan suatu pengertian. Media merupakan semua bentuk alat peraga yang dapat digunakan untuk menyampaikan penjelasan atau informasi.

---------------------
Matematika, Karakteristik
Menurut Soedjadi (1994:1), meskipun terdapat berbagai pendapat tentang matematika yang tampak berlainan antara satu sama lain, namun tetap dapat ditarik ciri-ciri atau karekteristik yang sama, antara lain: (a) memiliki objek kajian abstrak, (b) bertumpu pada kesepakatan, (c) berpola pikir deduktif, (d) memiliki symbol yang kosong dari arti, (e) memperhatikan semesta pembicaraan, (f) konsisten dalam sistemnya.
(Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta, Dirjen Dikti, Depdikbud.)

-------------------------
Matematika, konsep
Menurut Dienes (dalam Ruseffendi, 1980:134) menyatakan bahwa setiap konsep matematika dapat difahami dengan mudah apabila kendala utama yang menyebabkan anak sulit memahami dapat dikurangi atau dihilangkan. Dienes berkeyakinan bahwa anak pada umumnya melakukan abstraksi berdasasarkan intuisi dan pengalaman kongkrit, sehingga cara mengajarkan konsep-konsep matematika dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan objek kongkrit. 
(Russeffendi. 1988.  Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran matematika. Bandung, Tarsito.)

Pembelajaran matematika menurut Russeffendi (1993:109) adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang sengaja dilakukan untuk memperoleh pengetahuan dengan memanipulasi simbol-simbol dalam matematika sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku
(Russeffendi. 1988.  Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran matematika. Bandung, Tarsito.)



-------------------------
Matematika
Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki obyek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga keterkaitan dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas (Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo, 2005).
(Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo. 2005. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Kelas VI Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Sidoarjo: Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo )



-------------------------
Matematika, pembelajaran

Pembelajaran Matematika umumnya didominasi oleh pengenalan rumus-rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa ada perhatian yang cukup terhadap pemahaman siswa. Disamping itu proses belajar mengajar hampir selalu berlangsung dengan metode “chalk and talk” guru menjadi pusat dari seluruh kegiatan di kelas (Somerset, 1997 dalam Sodikin, 2004:1).
Kondisi di atas tampak lebih parah pada pembelajaran geometri. Sebagian siswa tidak mengetahui mengapa dan untuk apa mereka belajar konsep-konsep geometri, karena semua yang dipelajari terasa jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Siswa hanya mengenal objek-objek geometri dari apa yang digambar oleh guru di depan papan tulis atau dalam buku paket matematika, dan hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk memanipulasi objek-objek tersebut. Akibatnya banyak siswa yang berpendapat bahwa konsep-konsep geometri sangat sukar dipelajari (Soedjadi, 1991 dalam Sodikin 2004:2).
(Sodikin. 2004. Pembelajaran Matematika Realistik Pokok Bahasan Geometri di Kelas IV SD. Tesis, PPs Unesa, Surabaya.)


-------------------------
Matematika, pendekatan matematika
Pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus dikelola (Ruseffendi, 1988: 240).
(Ruseffendi. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Dalam Meningkatkan Matematika CBSA. Bandung: TARSITO.)

Soedjadi (2000: 102) membedakan pendekatan menjadi dua,  yaitu :
  1. Pendekatan materi (material approach), yaitu proses menjelaskan topik matematika  tertentu meggunakan materi matematika lain.
  2. Pendekatan pembelajaran (teaching approach), yaitu proses penyampaian atau penyajian topik matematika tertentu agar mempermudah siswa memahaminya.
(Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: DIRJENDIKTI DEPDIKNAS.)

Trefers (1991) mengklasifikasikan empat pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika berdasarkan komponen matematisasi (matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal) yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik dan realistik. Perbedaan pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika ditekankan sejauh mana pendekatan tersebut memuat  atau menggunakan kedua komponen tersebut, tabel berikut ini menunjukkan perbedaan ini menunjukkan perbedaan tersebut (tanda “ + ” berarti memuat komponen dan tanda “ – “ sebaliknya).
(Trefers. 1991. Realistic Mathematics Education in The Netherland 1980-1990. dalam Streeflands (Ed) “Realistic Mathematics Education in Primary School”. Utrech : Freudenthal Institute. Netherlands.)
 
-------------------------
Matematika, RME
Realistic Mathematics Education
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bantuan orang dewasa. (I Gusti  Putu Suharta, 2002). Sedangkan Wubbels, et all.(1997) dalam Yenni B Widjaja dan Heck (2003) mengemukakan bahwa:
The realistic mathematics education approach is based on a different point of view of mathematics education. The main difference with the mechanistic and structural approaches is that RME does not start from abstract principles or rules with the aim to learn to apply these in concrete situation.

Pendekatan matematika realistik berdasar pada sudut pandang yang berbeda dari pendidikan matematika. Perbedaan utamanya dengan pendekatan mekanistik dan struktural adalah bahwa RME tidak diawali dengan prinsip dan aturan/rumus abstrak untuk diaplikasikan dalam situasi nyata.
RME is more than “using real life contexts in mathematics education”. Its main points are guided reinvention, didactical phenomenology, and emergent models (Gravemeijer, 1998) dalam Yenni B Widjaja dan Heck (2003). RME lebih dari sekedar penggunaan riil konteks pada pendidikan matematika. Tujuan utamanya adalah penemuan terbimbing, fenomena didaktik dan permodelan.
Proses pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah kontekstual sebagai titik awal dalam belajar matematika. Masalah kontekstual yang dimaksud adalah masalah-masalah nyata dan konkrit yang dekat dengan lingkungan siswa dan dapat diamati atau dipahami oleh siswa dengan membayangkan. Dalam hal ini siswa melakukan aktivitas matematika horizontal, yaitu siswa mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentifikasi aspek matematika yang ada pada masalah tersebut. Siswa bebas mendeskripsikan, menginterprestasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual dengan caranya sendiri dengan pengetahuan awal yang dimiliki, kemudian dengan atau tanpa bantuan guru menggunakan matematika vertikal (melalui abstraksi dan formulasi), sehingga tiba pada tahap pembentukan konsep. Setelah dicapai pembentukan konsep, siswa mengaplikasikan konsep-konsep tersebut kembali pada masalah kontekstual sehingga dapat memahami konsep.
Model skematis proses pembelajaran yang merupakan proses pengembangan ide-ide dan konsep-konsep yang dimulai dari dunia nyata yang disebut matematisasi konseptual oleh De Lange (1987: 72) dilukiskan dalam gambar berikut :
                
Gambar 2.1 Matematika Konseptual
Mengenai karakteristik RME, diungkapkan oleh De Lange (1987) sebagai berikut:
RME mempunyai lima karakteristik. Secara ringkas kelimanya adalah sebagai berikut :
  1. Menggunakan masalah kontekstual (sebagai aplikasi dan titik tolak dari mana matematika yang diinginkan muncul).
  2. Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal (perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi daripada hanya mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung).
  3. Menggunakan kontribusi murid (kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi murid sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah yang lebih formal atau standar).
  4. Interaktivitas (negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dengan strategi informal murid digunakan sebagai jantung untuk mencapai yang formal).
  5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah, tetapi keterkaitan dan keterintegrasiannya harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah).

Mengacu pada karakteristik pembelajaran matematika realistik diatas, maka langkah langkah dalam kegiatan inti proses pembelajaran  matematika realistik pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Langkah 1 :      Memahami masalah kontekstual.
    Guru memberikan masalah kontekstual dan siswa memahami permasalahan tersebut.
Langkah 2 :      Menjelaskan masalah kontekstual
    Guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami siswa. Penjelasan ini hanya sampai siswa mengerti maksud soal.
Langkah 3 :      Menyelesaikan masalah kontekstual
    Siswa secara individu menyelesaikan masalah kontektual dengan cara mereka sendiri. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka dengan memberikan pertanyaan/petunjuk/saran.
Langkah 4 :      Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
    Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan pada diskusi kelas.
Langkah 5 :      Menyimpulkan
    Dari diskusi guru menarik kesimpulan suatu prosedur atau konsep.

Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan RME
Menurut Suwarsono (Jaka Purnama, 2004: 18) kelebihan-kelebihan pendekatan Realistic Mathematics Education  (RME) adalah sebagai berikut :
  1. Pendekatan RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya kepada manusia.
  2. Pendekatan RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh setiap orang “biasa“ yang lain, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
  3. Pendekatan RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara orang satu dengan orang yang lain.
  4. Pendekatan RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan suatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani sendiri proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep dan materi-materi matematika yang lain dengan bantuan pihak lain yang sudah tahu (guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
  5. Pendekatan RME memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lain yang juga dianggap “unggul“.
  6. Pendekatan RME bersifat lengkap (menyeluruh), mendetail dan operasional. Proses pembelajaran topik-topik matematika dikerjakan secara menyeluruh, mendetail dan operasional sejak dari pengembangan kurikulum, pengembangan didaktiknya di kelas, yang tidak hanya secara makro tapi juga secara mikro beserta proses evaluasinya.

Selain kelebihan-kelebihan seperti yang telah diuraikan di atas, terdapat juga kelemahan-kelemahan Realistic Mathematics Education  (RME) yang menurut Suwarsono (Jaka Purnama, 2004: 20) adalah sebagai berikut :
  1. Pemahaman tentang RME dan upaya pengimplementasian RME membutuhkan paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru, peranan soal, konteks, alat peraga, pengertian belajar dan lain-lain. Perubahan paradigma ini mudah diucapkan, tetapi tidak mudah untuk dipraktekkan karena paradigma lama sudah begitu kuat dan mengakar.
  2. Pencarian soal-soal yang kontekstual, yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh RME tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih karena soal tersebut masing-masing harus bisa diselesaikan dengan berbagai cara.
  3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan cara untuk menyelesaikan tiap soal juga merupakan tantangan tersendiri.
  4. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal-soal kontekstual, proses matematisasi horisontal dan proses matematisasi vertikal bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu. Dalam hal ini dibutuhkan micro didactics.
  5. Pemilihan alat peraga harus cermat agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan RME.
  6. Penilaian (assessment) dalam RME lebih rumit daripada dalam pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
  7. Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip RME.

  1. Yenni B. Widjaja dan Heck, A. 2003. How a Realistic Mathematics Education Approach and Microcomputer-Based Laboratory Worked in Lesson on Graphing at an Indonesian Junior High School. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia, Vol. 26, No. 2, pg. 1-51.
  2. I Gusti Putu Suharta. 2002. Matematika Realistik : Apa dan Bagaimana. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.
  3. Jaka Purnama. 2004. Pengaruh Pembelajaran Realistik Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pokok Bahasan Geometri Ditinjau Dari Motivasi Melanjutkan Ke Perguruan Tinggi Negeri. Surakarta : Program Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis.
  4. De Lange, J. 1987. Mathematics, Insight and Meaning. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
------------------------- Matematika, tujuan
Pembelajaran Matematika bertujuan melatih cara berfikir dan bernalar, mengembangkan aktivitas kreatif, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi dan mengkomunikasikan gagasan (Mohamad Nur, 2003)
(Nur, Mohammad. 2003. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pembelajaran sebagai Salah Satu Prasyarat Utama Pengimplementasian Kebijaka-kebijakan Inovatif Depdiknas dalam Merespon Tuntutan dan Tantangan Masa Depan. Makalah disajikan dalam Wisuda VII Pascasarjana Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, 20 Desember 2003. )



-------------------------
Matematika, prestasi belajar rendah
Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya prestasi belajar matematika siswa adalah ketakutan siswa terhadap matematika. Peker, M (2008) mengatakan bahwa: “Students’ low success level in mathematics has been a worry for a long time in many countries. There are a lot of factors affecting success in mathematics. One of these factors is students’ mathematical anxiety, in other words, their mathematical fear”. Sudah sejak dulu rendahnya prestasi belajar matematika siswa menjadi salah satu kekhawatiran di banyak negara. Banyak faktor yang mempengaruhi kesuksesan belajar matematika. Salah satu dari faktor tersebut adalah ketakutan pada matematika.
Mathematics anxiety is a multifaceted construct with affective and cognitive dimensions. Personality, self concept, self esteem, learning style, parental attitudes, high expectation of parents, negative attitude toward mathematics, avoidance of mathematics, teachers’ attitudes, ineffective teaching styles, negative school experiences and low degree of achievement in mathematics are among the concepts and construct related to mathematics anxiety (Yuksel-Sahin, Fulya, 2008).
(Yuksel-Sahin, F, 2008. Mathematics Anxiety among 4th and 5th grade Turkish elementary school students. International Journal of Mathematics Education. Vol. 3, No. 3, pg 179-192.)

------------------------
Membaca, konsep
Membaca merupakan suatu keterampilan yang pemilikan keterampilannya memerlukan suatu latihan yang intensif, dan berkesinambungan (Akhmad Slamet Harjasujana,1997:103).
(Harjosujono, Akhmad Slamet, 1996. Membaca 2. Jakarta : Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Menengah Umum. Bagian Proyek Penataran Baru SLTP Setara D.III)

------------------------
Membaca cepat
Menurut Subyakto (1988:148), Membaca dengan cepat cenderung berpikir bahwa hanya seorang pembaca cepatlah seorang pembaca yang efektif dan efisien. Dengan demikian seorang pelajar yang membaca dengan lambat tidak dapat menyelesaikan tugasnya pada waktu yang ditentukan.
(Subyakto, Sri Utari, Dr.1988, Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta : Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)

------------------------
Mengajar
Usman dan Setiawati (1993: 6) berpendapat bahwa mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar.  Atau dapat pula dikatakan bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengkoordinasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran sehingga menimbulkan terjadinya proses belajar pada diri siswa.
(Setiawati, Lilis dan Moh Uzer Usman. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya)

------------------------
Mengajar
Sudjana  (2000: 29) mengajar adalah proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar.
(Sudjana, N. 2000. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar